Om Swastyastu

Swasti Prapta ring blog titiange, dumogi wenten kawigunannyane. Suksma. "Om Shantih, Shantih, Shantih, Om


Senin, 04 Juni 2012

Telaah Puisi Aji Kembang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap karya sastra mempunyai hakekat- hakekat tertentu. Demikian juga halnya dengan puisi. Puisi mempunyai suatu hakekat yang menjadikan puisi tersebut mempunyai daya tarik. Dalam hal ini yang akan dibahas adalah kkarya sastra puisi berbentuk kidung. Kidung merupakan bagian dari puisi tradisional bali selain Geguritan dan kakawin. Namun dalam cara menampilkan kidung berbeda dengan geguritan ataupun kekawin. Kidung termasuk ke dalam Sekar Madya yang tidak hanya sebagai hiburan tetapi lebih umum digunakan sebagai pengantar dalam upacara Yadnya (Tinggen, 1982: 35). Pada saat ditampilkan kidung hanya dinyanyikan dengan irama tertentu, dan secara bersama-sama serta tidak adanya unsur penerjemahan atau yang lebih dikenal dengan nama Pengartos seperti dalam kakawin ataupun Geguritan. Bahasa yang digunakan dalam sastra kidung adalah bahasa Jawa Pertengahan (Suarka, 2007: 6). Istilah bahasa Jawa Pertengahan merupakan istilah yang boleh dilakukan karena istilah tersebut seolah-olah menggambarkan bahwa bahasa Jawa Pertengahan meerupakan bentuk bahasa pada akhir jaman Hindu-Jawa dan suatu tahap peralihan antara bahasa Jawa Kuna dengan bahasa Jawa Modern pada abad-abad kemudian (Zoetmulder, dalam Suarka, 2007: 6). Ditinjau dari segi metrum yang digunakan, karya sastra kidung dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: karya sastra kidung yang menggunakan metrum Macapat dan karya sastra kidung yang menggunakan metrum Tengahan (Robson, 1978: 8). Biasanya kidung dinyanyikan pada saat adanya upacara yadnya, akan tetapi terkadang kidung juga dinyanyikan sebagai suatu bentuk pementasan karya seni, seperti halnya dalam Utsawa Dharma Gita. Kidung yang dinyanyikan biasanya tergantung upacara yadnya yang diadakan.sehingga terdapat banyak jenis kidung di bali, seperti misalnya: kidung wargasari yang dinyanyikan pada saat dewa yadnya, kidung jerum yang di nyanyikan dalam upacara buta yadnya,kidung aji kembang yang digunakan pada saat upacara pitra yadnya dan sebgainya.dengan adanya perbedaan pungsi tersebut sudah barang tentu antar satu kidung dengan kidung yang lainya mempunyai struktur yang berbeda apabila di lihat dari tiga hakekat puisi yaitu pungsi estetik, kepadatan isi,serta espresi tidak langsung. Dalam paper ini yang akan dibahas kidung Aji Kembang yang berfungsi sebagai kidung yang dinyanyikan pada saat upacara Pitra Yadnya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar Belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah bentuk serta fungsi kidung Aji Kembang? 2. Bagaimanakah kidung Aji Kembang bila dilihat dari aspek-aspek hakikat puisi, yakni fungsi estetika, fungsi kepadatan, serta fungsi ekspresi tidak langsung? 1.3 Tujuan Analisis Setiap penciptaan tentunya mempunyai tujuan. Demikian juga halnya dengan penulisan paper ini yang mempunyai dua jenis tujuan yaitu tujuan khusus dan tujuan umum. 1.3.1 Tujuan Khusus Secara khusus penulisan paper ini bertujuan untuk melestarikan kasanah budaya tradisional dalam bentuk karya sastra. Mengingat analisis terhadap kidung sangat jarang dilakukan. Bahkan Zoetmulder (1985 : 144) menyarankan bahwa penelitian sastra kidung lebih tepat dilakukan oleh sarjana Bali karena mereka masih akrab dengan sastra kidung hingga dewasa ini (Suarka, 2007 : 7). 1.3.2 Tujuan Umum Tujuan umum dari penulisan paper ini adalah memberikan suatu wawasan kepada masyarakat tentang bentuk karya sastra kidung terutama pada masyarakat Bali, karena dalam kelangsungan masyarakat Bali terutama dalam kehidupan beragama keberadaan kidung tidak dapat diabaikan. 1.4 Landasan Teori Teori berfungsi sebagai suatu sarana dalam memecahkan suatu analisis. Teori yang digunakan harus teori yang relevan yang ada kaitannya dengan topic analisis. Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan maka teori yang digunakan yakni teori analisa struktur dari Djoko Pradopo. Mengingat kidung merupakan salah satu jenis puisi maka dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, karena puisis merupakan struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan (Djoko Pradopo, 1993:3). Tinjauan struktur dalam kidung lebih mengkhusus kepada hakikat puisi yakni fungsi estetika (gaya bahasa yang ada di dalamnya), fungsi kepadatan (merupakan inti permasalahan yang dibicarakan) dan fungsi ekspresi tidak langsung (pengungkapan ekspresi secara tidak vulgar). 1.5 Metode dan Teknik 1.5.1 Metode Dalam analisis ini metoda yang digunakan adalah metode kajian pustaka dengan membaca literature-literatur yang berkaitan dan mendukung dalam melakukan analisis terhadap kidung Aji Kembang. 1.5.2 Teknik Teknik berasal dari kata Tekhnikos (bahasa Yunani) yang berarti alat atau seni menggunakan alat. Sebagai alat teknik bersifat paling kongkret (Kutha Ratna, 2004:37). Teknik yang digunakan dalam analisis ini adalah teknik membaca, mencatat serta menerjemahkan. Teknik membaca digunakan untuk memahami isi yang terdapat dalam kidung Aji Kembang. Teknik mencatat digunakan untuk menghindari keterlupaan data karena keterbatasan ingatan. Sedangkan teknik menerjemahkan digunakan untuk mempermudah mermahami isi yang terkandung dalam kidung Aji Kembang . 1.6 Sumber Data Dalam menganalisis kidung aji Kembang ini, kami menggunakan buku “Kidung Warga Sari, Turunan Cakepan Kakawin” yang disusun oleh I Wayan Mangku. Dalam buku yang diterbitkan oleh Wirata Agung ini terdapat 46 halaman yang dibedakan menjadi 6 BAB yakni bab pertama tentang kidung dewa Yadnya, bab dua Rsi Yadnya, bab tiga Pitra Yadnya, bab empat Manusa Yadnya, bab lima Bhuta Yadnya, dan bab terakhir membicarakan contoh Guru Laghu kakawin dan artinya. 1.7 Jangkauan Dalam menganalisis suatu karya sastra tentunya memerlukan jangkauan untuk membatasi ruang lingkup agar ruang lingkup tidak terlalu luas dan menyimpang. Maka dari itu dalam analisis ini dibatasi pada masalah-masalah yang berhubungan dengan hakikat-hakikat puisi menurut Djoko Pradopo. BAB II ANALISIS 2.1 Bentuk dan Fungsi Kidung Aji Kembang Kidung Aji Kembang merupakan kidung yang digunakan masyarakat Bali dalam upacara yadnya khususnya dalam upacara Pitra Yadnya. Dalam buku yang kami jadikan sumber data kidung Aji Kembang terdiri dari sembilan bait. Masing-masing bait terdiri dari tujuh baris (carik). Dari kesembilan bait tersebut melambangkan Sembilan arah penjuru mata angin. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut. Bait 1 “Ring purwa tunjunge putih [….]” ‘Di sebelah timur melambangkan warna putih’ Bait 2 “Ring gneyan tunjunge dadu [….]” ‘di sebelah tenggara melambangkan warna ungu’ Bait 3 “Ring daksina tunjunge mirah [….]” ‘di sebelah selatan melambangkan warna merah’ Bait 4 “ring neriti tunjunge jingga [….]” ‘disebelah barat daya melambangkan warna jingga’ Bait 5 “Ring Pascima tunjunge jenar [….]” ‘di sebelah barat melambangkan warna kuning’ Bait 6 “Ring wayabya tunjunge wilis [….]” ‘di sebelah barat laut melambangkan warna hijau’ Bait7 “Ring uttara tunjunge ireng [….]” ‘di sebelah utara melambangkan warna hitam’ Bait 8 “Ring arsania tunjunge biru [….]” ‘di sebelah timur laut melambangkan warna biru’ Bait 9 “Tengah tunjunge manca warna [….]” ‘di tengah melambangkan lima warna’ Dari kutipan diatas dapat kita lihat bahwa dalam kidung Aji Kembang ini melambangkan pengider-ider bhuana. Sesuai dengan fungsinya yang digunakan saat upacara ngeraka sawa yaitu pemungutan kembali tulang-tulang mayat yang sudah dibakar untuk disatukan kembali seperti layaknya kerangka manusia, kidung Aji Kembang membicarakan stana dari para dewa (Dewata Nawa Sanga) dalam tubuh manusia sehingga menurut kepercayaan masyarakat Bali apabila kidung ini dinyanyikan maka penyatuan dari tulang belulang yang telah dibakar itu akan dapat tercapai dengan baik. 2.2 Kidung Aji Kembang Berdasarkan Hakekat Puisi 2.2.1 Hakekat Puisi sebagai Fungsi Estetika Fungsi estetika merupakan suatu gaya bahasa yang ada di dalam puisi. Gaya bahasa merupakan cara penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapat efek tertentu. Dalam karya sastra, efek ini adalah efek estetik yang turut menyebabkan karya sastra yang bernilai seni (Djoko Pradopo, 2005:264). Dalam karya sastra, gaya bahasa juga biasa diartikan sebagai bahasa kiasan. Bahasa kiasan ini menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan (Djoko Pradopo, 1993:61-62). Dalam kidung Aji Kembang fungsi estetik digambarkan pengarang dengan suatu kata-kata yang berulang disetiap bait. Seperti misalnya pada bait pertama : “Ring purwa tunjunge putih, Hyang Iswara dewatannya, ring papusuhan pernahira Alinggih sira kalihan, pantes ta kembange petak, ring tembe lamun dumadi, suka sugih tur rahayu, dana punya stiti bhakti.” Dalam kutipan tersebut, kalimat “alinggih sira kalihan” dan “ring tembe lamun dumadi” terdapat di kesembilan bait yang ada sehingga kalimat tersebut merupakan suatu kalimat yang memperindah jalinan cerita karena memperjelas maksud yang disampaikan oleh kalimat sebelumnya ataupun sesudahnya. Selain itu penggunaan variasi kata juga terdapat, seperti dalam kutipan dibawah: “Ring daksina tunjung mirah [….]” Dari kutipan diatas, penggunaan kata “mirah” merupakan suatu variasi. Kata mirah yang secara konotasi berarti merah dapat juga diganti dengan kata “bang”. Tetapi pengarang memilih kata mirah agar memperindah unsure kebahasaannya. 2.2.2 Hakekat Puisi sebagai Fungsi Kepadatan Fungsi kepadatan berkaitan dengan inti masalah yang disampaikan pengarang dalam suatu karya sastra. Dalam kidung Aji Kembang fungsi kepadatan dimaksudkan sebagai maksud dari kidung tersebut dinyanyikan. Seperti telah disebutkan diawal, kidung Aji Kembang dinyanyikan pada saat upacara Pitra Yadnya yaitu pada saat “ngeraka sawa” yaitu pemungutan kembali tulang-tulang mayat yang sudah dibakar untuk disatukan kembali seperti layaknya kerangka manusia, sehingga kidung aji Kembang dinyanyikan dengan tujuan penyatuan dari tulang belulang yang telah dibakar itu akan dapat tercapai dengan baik. Seperti dalam kutipan berikut ini. “Ring daksina tunjung mirah, sang Hyang Brahma dewatannya, ring ati prenahira, alinggih sira kalihan pantes ta kembange mirah, ring tembe lamun dumadi, sampurna dirgayusa, pradnyan maring tatwa aji.” Terjemahan: “Disebelah selatan melambangkan warna merah, Hyang Brahma sebagai dewanya, dihatilah tempatnya, disanalah beliau dicari, pantaslah berwarna merah, apabila akan terlahir kembali, sempurna dan panjang umur, pintar akan ilmu pengetahuan.” Dari kutipan tersebut terlihat bagaimana harapan yang disampaikan agar orang yang sudah meninggal akan terlahir kembali dengan kehidupan yang lebih baik. Kesemua bait dalam kidung Aji Kembang mempunyai pesan-pesan yang sama. Pesan-pesan itulah yang sesungguhnya menjadi inti pembicaraan. Uniknya semua pesan yang disampaikan terletak pada akhir setiap bait, seperti dalam kutipan berikut: Bait 1: “…, suka sugih tur rahayu, dana punya stiti bhakti.” Terjemahan: mempunyai kekayaan dan kebahagiaan, beryadnya dan slalu berbakti. Bait 2: “…, widagda sira ring niti, subhaga sireng bhuwana.” Terjemahan: jaya dalam memerintah, makmur dia di dunia. Bait 3: “…, sampurna tur dirgayusa, pradnyan ring tatwa aji.” Terjemahan: sempurna dan panjang umur, pintar dalam ilmu pengetahuan. Bait 4: “…, dharma sila tur susila, jana nuraga ring bumi.” Terjemahan: dharma dan baik tingkah lakunya, manusia utama di dunia. 2.2.3 Hakekat Puisi sebagai Fungsi Ekspresi Tidak Langsung Ekspresi tidak langsung merupakan ekspresi yang diungkapkkan oleh pengarang secara tidak vulgar. Ketiklangsungan ekspresi dalam puisi biasanya disebabkan oleh tiga hal yaitu: penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. Dalam penggantian arti dapat dilihat dari penggunaan kata “mirah.” Kata mirah dalam arti sesungguhnya berarti suatu benda menerupai batu yang biasa digunakan dalam pembuatan cincin ataupun lainnya. Akan tetapi dalam kidung Aji Kembang kata mirah mempunyai arti lain yaitu merah. Dalam hal penyimpangan arti terjadi apabila didalam suatu karya sastra terdapat ambiguitas (makna ganda). Dalam kidung Aji Kembang terdapat penggunaan kata “tunjung” disetiap bait pada baris pertama. Secara makna kata tunjung berarti suatu jenis bunga sedangkan pada kidung ini kata tunjung berarti melambangkan suatu warna. Sedangkan dalam penciptaan arti tidak ditemukan pada kidung Aji Kembang. Di lihat dari maknanya penyampaian makna oleh pengarang tidak secara langsung melainkan dengan untaian kata yang dapat menimbulkan suatu kepuitisan. Namun ada juga kemungkinan pembaca tidak dapat mengerti maksud yang disampaikan karena keterbatasan nalar. Sesungguhnya pengarang tidak hanya menyampaikan makna, akan tetapi juga mengekspresikan suatu kegemaran dalam mengolah kata serta sebagai suatu persembahan kepada tuhan atau yang biasa disebut dengan Yantra. BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kidung Aji Kembang merupakan kidung yang tergolong jenis kidung pitra yadnya yang terdiri dari sembilan bait. 2. Dilihat dari fungsi estetis, dalam kidung Aji Kembang terdapat kata-kata hias serta kalimat-kalimat yang menjadi cirri khas kidung tersebut. Seperti misalnya ada suatu kalimat yang diulang dari bait pertama sampai bait ke sembilan. 3. Pada fungsi kepadatan, dalam kidung Aji Kembang dilambangkan dengan suatu pesan atau harapan pengarang agar orang yang telah meninggal, apabila dilahirkan kembali mendapatkan kehidupan yang lebih baik. 4. Pada fungsi ekspresi tidak langsung merupakan ekspresi yang diungkapkkan oleh pengarang secara tidak vulgar. Ketiklangsungan ekspresi dalam puisi biasanya disebabkan oleh tiga hal yaitu: penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. Dalam kidung Aji kembang Ekspresi tidak langsung hanya ditemukan dalam hal penggantian arti dan penyimpangan arti 3.2 Saran Kepada masyarakat secara umum kami mengharapkan lebih menggemari untuk membaca kidung, karena dalam kidung banyak terkandung nilai-nilai. Kami juga mengharapkan kepada masyarakat Bali untuk memperbanyak penelitian dalam kidung karena masih banyak terdapat kekeliruan penafsiran tentang makna dalam kidung. Selain itu keterbatasan literature yang membicarakan tentang kidung juga menjadi penyebab langkanya penelitian tentang kidung itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA Djoko Pradopo, Rachmat. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada Univercity Press. Gambar, I Made. (tanpa tahun). Kamus Dasa Nama. Denpasar: Cempaka 2. Mangku, I Wayan. 1999. Kidung Warga Sari (Turunan Cakepan Kekawin). Wirata Agung. Tinggen, I Nengah. 1994. Aneka Sari Gending-Gending Bali. Singaraja: Rhika Dewata. Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar: Pustaka Larasan.